Kondisi S. Kedungbener di ujung kemarau 2015 (Photo : Hani) |
Dalam kondisi iklim normal, suhu permukaan laut di sekitar
Indonesia (pasifik equator bagian barat) umumnya hangat dan karenanya
proses penguapan mudah terjadi dan awan-awan hujan mudah terbentuk.
Namun ketika fenomena el-nino terjadi, saat suhu permukaan laut di
pasifik equator bagian tengah dan timur menghangat, justru perairan
sekitar Indonesia umumnya mengalami penurunan suhu (menyimpang dari
biasanya). Akibatnya, terjadi perubahan pada peredaran masa udara yang
berdampak pada berkurangnya pembentukan awan-awan hujan di Indonesia. (Read more: Sumber BMKG)
Dalam kata lain adalah kemarau yang berkepanjangan. Desa saya yakni Desa Kalirancang Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Kemarau mulai melanda sejak Juni 2015 namun curah hujan sudah turun bahkan tidak ada terhitung sejak bulan Mei 2015. Tak seperti musim kemarau sebelumnya, kemarau tahun ini sangat ''mendadak''. Tahun lalu ketika dalam peralihan musim masih ada curah hujan meski kecil namun berangsur-angsur. Namun tahun ini hujan seketika hilang. Padahal saat itu intensitas hujan terakhir masih dalam intensitas sedang-lebat.
Sudah tiga bulan hujan tak turun membuat tanah dan tanaman kering. Air menguap lebih cepat. Bukit-bukit yang biasanya hijau kini terlihat merah (merangas). Air sungai dan sumur-sumur warga desa mengering. Sungai kecil di lembah dusun saya pun kini hanya meninggalkan kubangan bercampur daun jati yang gugur. Air mengalir pelan dan lirih. Mata air di sepanjang dinding sungai ikut mengering tak tersisa. Meski demikian kekeringan di dusun saya ini belum sampai berstatus darurat kekeringan yang harus dipasok air bersih oleh pemerintah.
Sumur yang mulai mengering memaksa warga untuk mencari sumber air. Beruntung ada satu sumur yang berada di tepi sungai kecil yang masih menyimpan air dan memiliki sumber mata air yang banyak. Sumur kecil yang kemudian diperbesar dari dana pemerintah (Pansimas) ini pun menjadi oase bagi warga sekitar saat kemarau. Itupun kadang harus ngantre atau malah berebut mengambil airnya. Sementara itu warga lain yang lebih dekat ke Sungai Kedungbener (sungai besar) ramai membuat sumur kecil dengan menggali dasar sungai. Warga menyebutnya dengan sebutan belik.
Ya, Sungai Kedungbener yang kita kenal langganan banjir di musim penghujan seperti biasa akan menyusut drastis meninggalkan aliran tak sampai satu meter. Itu pun dipenuhi lumut dan daun daun kering. Namun kini aliran Sungai Kedungbener kering kerontang bak proyek jalan tol! Dan hal tersebut sangat langka terjadi. Sementara area yang kering dimanfaatkan warga untuk menanam ubi jalar dan sayuran lainnya. Ya mereka bisa mengambil hikmah dari siklus tahunan ini. Sementara itu kemarau membuat sawah tadah hujan mengering, sehingga petani memilih untuk memanen dini padi mereka. Ya setidaknya untuk menekan gagal panen sekaligus menyiapkan pangan untuk musim paceklik tiga bulan mendatang.
Sementara itu kekeringan di perbukitan membuat daun daun berguguran berserak di lantai hutan. Rumput dan daun yang menghijau menyusahkan warga mencari pakan kambing mereka. Mereka harus berjalan sekira 3 Km dengan naik turun bukit terjal. kalau sudah begini kebakaran hutan akan terjadi. Hal ini merupakan kejadian acapkali kemarau datang. Entah bersumber dari mana kebakaran hutan di Bukit Pagergeong dan Pagerijo sering terjadi.
Namun bagi warga Desa Sawangan terutama Dusun Jasman, Kekeringan tak begitu diarasakan. Pasalnya mereka mengambil air dari mata air alami di hutan pada lereng perbukitan Pagergeong. Mereka menggunakan selang untuk menyalurkan air ke rumah mereka sepanjang tahun. Biasanya mata air ini berada di bawah pohon besar, diantara celah batu andesit raksasa dan di cekungan sisa sungai. Airnya teramat jenih dan sangat segar. Namun harus diakui bahwa mata air tersebut jauh berkurang seiring degradasi hutan yang serampangan.
Maka dari itu kita harus menjaga hutan agar tetap rindang dengan pepohonan. Karena apa? Hutan ini sebagai media menyimpan air profesional :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar