Sungai-sungai yang banjir besar |
Berbeda dengan banjir besar pada tahun 2014 silam, banjir kali ini tidak lebih merusak. Kenapa? Banjir Oktober 2016 lebih terkonsentrasi diwilayah tengah DAS Kedungbener, bukan di wilayah hulu. Di bagian tengah ini topografi dan kemiringan dataran cenderung landai/rata sehingga banjir tidak memiliki arus yang deras. Yang berbeda lagi, Banjir ini menggenangi lebih luas wilayah dikarenakan banjir ini bukan banjir kiriman saja dari satu hulu sungai namun karena curah hujan diwilayah terdampak memang sangat tinggi. Sungai Kedungbener di Desa Sawangan, Seliling dan Bojongsari sudah mendapat tambahan air dari anak sungainya yang cukup besar yakni Sungai Tekung.
Asumsi saya debit air banjir Sungai Tekung (termasuk anak sungainya yakni Sungai Curugurang) lebih besar daripada Sungai Kedungbener. Meski tak menimbulkan banjir di Desa Wonokromo namun besarnya arus bisa menahan arah air banjir dari Sungai Kedungbener ketika dua sungai ini bertemu di Desa Sawangan. Akibatnya air dari Sungai Kedungbener menggenangi Desa Kalirancang dan sebagian Desa Sawangan cukup lama dengan air yang lebih tenang serta lebih jernih tak seperti biasanya, dan Desa Krakal cukup aman dari banjir. Bandingkan dengan banjir 2014 debit Sungai Kedungbener jauh lebih besar ketimbang Sungai Tekung, akibatnya kedua wilayah yang dilintasi dua sungai tersebut dilanda banjir.
Soal besarnya debit air Sungai Tekung asumsi lain menunjukan daerah hulu sungai ini memiliki curah hujan yang sangat tinggi. Hulu sungai ini berada diantaran Pujotirto, Wadaslintang dan sekitarnya yang kebetulan juga merupakan hulu Sungai Badegolan yang ikut banjir besar hingga menghanyutkan sebuah jembatan semipermanen. Hal yang sama terjadi pada Sungai Tholang di Kecamatan Kutowinangun.
Kemerataan curah hujan menyebabkan banjir cukup luas terutama di wilayah Desa Sumberadi, Candimulyo dan sekitarnya. Wilayah ini merupakan wilayah rendah yang menjadi titik pertemuan tiga sungai yang cukup besar yakni Sungai Kedungbener, Sungai Kalijaya serta Sungai Bakung. Wilayah ini juga merupakan pemukiman padat sehingga air aliran permukaan (run off) dalam hal ini air hujan yang sangat banyak itu langsung dibuang ke sungai. Secara umum curah hujan sangat tinggi melanda Kecamatan Alian, Poncowarno, Kebumen, Kutowinangun, Padureso, Prembun dan Wadaslintang.
Banjir pertama dirasakan oleh warga di Desa Kalirancang Kecamatan Alian pada pukul 06.00 WIB dan pukul 07.30 sebagai puncak banjir. Di Desa Kalirancang banjir kali ini cenderung lebih lama surut ketimbang banjir bandang Alian 2014. Jika sebelumnya butuh waktu 1 jam untuk normal kemarin butuh 2-4 jam untuk menuju ketinggian normal. Kemudian banjir terus ke hilir sekitar pukul 11.00 WIB sampai di Desa Bojongsari dan pukul 14.00 WIB sampai di Desa Jatisari Kecamatan Kebumen. Banjir Sungai Kedungbener benar-benar 'pecah' pada pukul 16.00 WIB.
10 Jam itu cukup untuk mengantisipasi dampak banjir sehingga perlu adanya peringatan dini. Namun tak ada peringatan dini banjir di wilayah sepanjang Sungai Kedungbener. Hanya ada satu bendung yakni di Dusun Pesucen Desa Roworejo Kecamatan Kebumen yang bisa menjadi peringatan dini banjir untuk wilayah Kecamatan Kebumen. Tetapi ukurannya yang minimalis tak mampu menampung debit air dari seluruh wilayah Kecamatan Alian dan sebagian Karangsambung yang ada malah ''mengacaukan'' debit air kala banjir besar.
Lantas bagaimana dengan Kecamatan Alian? Apa perlu punya bendung/ pintu air karena faktanya air bah tak bisa dikendalikan? Alat/ media peringatan dini banjir di bantaran sungai sangat dibutuhkan di sejumlah titik seperti di Desa Plumbon, Desa Sawangan, dan Desa Sumberadi. Pemkab Kebumen seharusnya merasa sedang berlomba dengan laju kencang pertumbuhan permukiman penduduk dan laju erosi. Saya pernah mengatakan Sungai Kedungbener punya periode ulang banjir besar 2 Tahun sekali. See? Demikian cerita sederhana nan ngawurnya. Hehehehhe......
Soal besarnya debit air Sungai Tekung asumsi lain menunjukan daerah hulu sungai ini memiliki curah hujan yang sangat tinggi. Hulu sungai ini berada diantaran Pujotirto, Wadaslintang dan sekitarnya yang kebetulan juga merupakan hulu Sungai Badegolan yang ikut banjir besar hingga menghanyutkan sebuah jembatan semipermanen. Hal yang sama terjadi pada Sungai Tholang di Kecamatan Kutowinangun.
Kemerataan curah hujan menyebabkan banjir cukup luas terutama di wilayah Desa Sumberadi, Candimulyo dan sekitarnya. Wilayah ini merupakan wilayah rendah yang menjadi titik pertemuan tiga sungai yang cukup besar yakni Sungai Kedungbener, Sungai Kalijaya serta Sungai Bakung. Wilayah ini juga merupakan pemukiman padat sehingga air aliran permukaan (run off) dalam hal ini air hujan yang sangat banyak itu langsung dibuang ke sungai. Secara umum curah hujan sangat tinggi melanda Kecamatan Alian, Poncowarno, Kebumen, Kutowinangun, Padureso, Prembun dan Wadaslintang.
Banjir pertama dirasakan oleh warga di Desa Kalirancang Kecamatan Alian pada pukul 06.00 WIB dan pukul 07.30 sebagai puncak banjir. Di Desa Kalirancang banjir kali ini cenderung lebih lama surut ketimbang banjir bandang Alian 2014. Jika sebelumnya butuh waktu 1 jam untuk normal kemarin butuh 2-4 jam untuk menuju ketinggian normal. Kemudian banjir terus ke hilir sekitar pukul 11.00 WIB sampai di Desa Bojongsari dan pukul 14.00 WIB sampai di Desa Jatisari Kecamatan Kebumen. Banjir Sungai Kedungbener benar-benar 'pecah' pada pukul 16.00 WIB.
10 Jam itu cukup untuk mengantisipasi dampak banjir sehingga perlu adanya peringatan dini. Namun tak ada peringatan dini banjir di wilayah sepanjang Sungai Kedungbener. Hanya ada satu bendung yakni di Dusun Pesucen Desa Roworejo Kecamatan Kebumen yang bisa menjadi peringatan dini banjir untuk wilayah Kecamatan Kebumen. Tetapi ukurannya yang minimalis tak mampu menampung debit air dari seluruh wilayah Kecamatan Alian dan sebagian Karangsambung yang ada malah ''mengacaukan'' debit air kala banjir besar.
Lantas bagaimana dengan Kecamatan Alian? Apa perlu punya bendung/ pintu air karena faktanya air bah tak bisa dikendalikan? Alat/ media peringatan dini banjir di bantaran sungai sangat dibutuhkan di sejumlah titik seperti di Desa Plumbon, Desa Sawangan, dan Desa Sumberadi. Pemkab Kebumen seharusnya merasa sedang berlomba dengan laju kencang pertumbuhan permukiman penduduk dan laju erosi. Saya pernah mengatakan Sungai Kedungbener punya periode ulang banjir besar 2 Tahun sekali. See? Demikian cerita sederhana nan ngawurnya. Hehehehhe......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar